Memang itulah ujian laki-laki mas

Laki-laki kadang tidak rasional jika berhadapan dengan keinginan untuk melindungi perempuannya.

Pendahuluan

Setiap kita pasti memiliki dan menjalani ujian. Dan setiap kita memiliki ujian yang khas. Kita yang laki-laki memiliki ujian yang khas dan kadang kurang dimengerti oleh perempuan. Begitu juga sebaliknya. Orang kaya memiliki ujian yang khas yang kadang tidak mudah dimengerti oleh kaum dhuafa. Dan sebaliknya dan semacamnya.

Ini kisah tentang ketidakmengertian perempuan yang saya dapatkan dari anak-anak selama liburan kemarin.

Begitulah perempuan, mas

Salah satu agenda gadisku adalah ketemuan dengan teman2 sepondoknya ketika SMP. Mereka sekarang tersebar di SMA, MAN dan beberapa pondok. Kami ijinkan Inas datang ke acara itu. Dan siang itu Inas berangkat. Dia kirim sms untuk pamit. saya balas dengan doa dan memintanya untuk berhati-hati.

‘Im, aku berangkat ya?’, pamit Inas kepada Zaim. Zaim yang sedang bermain mengiyakan dan menyambut uluran tangan kakak perempuannya. ‘Naik apa, mbak?’. ‘Ngebis’. ‘Ke lapangan naik apa?’. ‘Jalan kaki…’. ‘Aku antar po, mbak?’, tanya Zaim sekaligus menawarkan jasanya. ‘Naik apa, Im?’. ‘Sepeda’. ‘Ada jalunya po?’, tanya Inas kepada Zaim terkait tawarannya. Jalu adalah sebutan anak-anak kampong kami untuk pijakan kaki yang bisa dibongkarpasang. ‘Nggak ada sih, mbak. Aku pasang dulu po, mbak?’. ‘Nggak usah, Im. Sudah ya, Im? Aku berangkat,.,.. Salamualaikum,.,.,.’.

‘Nggak papa, mbak. Di daerah ini banyak preman, mbak. Mbak Inas harus hati-hati.’, kata Zaim menanggapi protes sang kakak ketika menemaninya menuju lapangan Ringin untuk mencegat bus. Rupanya mas Zaim tidak tega dan sanggup meninggalkan teman bermainnya untuk mengawal sang kakak cantiknya. Inas diam saja. Ini juga daerah Inas. Inas sebenarnya juga cukup hafal daerah di seputar rumahnya. Dan memang tidak ada bahaya yang berlebihan di sekitar rumah kami. Tapi Inas tak kuasa menahan aksi sang adik.

Menunggu bus rupanya cukup lama dan itu memicu timbulnya aksi laki-laki bagi lelaki kecil kami. ‘Haus, mbak. Aku belikan minum…’, tawarnya tanpa menunggu persetujuan Inas. Dia mengayuh sepedanya ke warung es jeruk. Dia ingin memesankan 2 porsi untuknya dan untuk mbak Inas. ‘Berapa 1 gelas, bu?’, tanyanya. Jawaban ibu warung membuatnya urung memesan 2 gelas. Uang Zaim kurang. Dia bergeser ke warung sebelah. Agak jauh dan agak memakan waktu. Dia pesan es teh instan dalam kemasan. Harganya lebih murah sehingga dia dapatkan 2 bungkus. Dia bawa 2 bungkus itu dan kembali ke tempat Inas menunggu bus.

Inas sudah tidak ada. Inas sudah di bus. Tanpa pemberitahuan. Dan itu membuat Zaim pulang dan menyimpan es teh itu di lemari es kami. ‘Mbak Inas menginap di pondok koq, Im’. ‘Nggak papa’, jawabnya tanpa ekspresi sedih.

Terhadap kisah ini, gadis-gadisku tertawa-tawa. ‘He2,.,.,. Zaim ditolak… Zaim dicuekin cewek…’, begitu mereka meledek. Saya Cuma tersenyum melihat kedekatan mereka. Mereka memang sudah memberi hal manis dalam hidupku.

‘Mas, memang laki-laki harus peduli. Laki-laki itu harus terus memberi meski perempuannya agak tak berterima kasih, mas’, kataku membuka pembicaraan ketika semua cerita ini disampaikan kepadaku. ‘Perempuan memang kadang tak mengerti ujian kita, mas’, kataku menatapnya. ‘Wuu,.,.,. Ngajak perang nih…’, kata para gadisku di belakang punggungku. saya menyengaja menyampaikan hal ini di hadapan perempuan-perempuanku. saya tersenyum dan bersyukur. saya memang sedang mengajari, mengajari lelaki kecil kami dan mengajari kaum perempuan itu.

Perempuan rawan situasi ini. Perempuan mudah melupakan jasa-jasa laki-lakinya. Ada banyak celah dari lelakinya yang bisa digunakan untuk tidak berterimakasih.

"Alloh tidak memandang seorang wanita yang tidak berterimakasih kepada suaminya, padahal dia butuh kepadanya".
(HR. An Nasa-i, dengan sanad yang shohih).

Saya tidak sedang melecehkan perempuan dan membanggakan laki-laki. Karena sebenarnya yang terjadi tidak sepihak. Laki-laki juga bisa saja menemukan alasan untuk tidak berterimakasih. Tetapi saya Cuma sedang memberikan penekanan pada kisah anak-anak itu. Dan pantasnya, saya mengambil sudut pandang itu. Maka jangan anggap saya melecehkan perempuan dan membanggakan laki-laki.

Penutup

Kisah itu bukan kisah hebat. Bahkan, sebenarnya, saya masih heran terhadap beberapa bagian dari cerita itu. Termasuk bagaimana Zaim sanggup meninggalkan kawan bermainnya ‘hanya’ untuk menemani Inas. Padahal adzan-pun kadang tak membuka telinganya ketika bersama kawan-kawannya. Cerita itu juga mungkin dicibir oleh anda pandai dalam soal makanan anak-anak karena ada es jeruk, es teh dan semacamnya. Cerita itu cerita biasa.

Tapi meski cerita biasa, saya ingin mendapatkan hal istimewa dan memberikan sesuatu buat mereka. Dan karena saya juga ingin berbagi dengan anda, maka saya tuliskan kisah itu di sini. Terima kasih. 


0 komentar:

Posting Komentar