SUBUH itu kami baru saja menikmati sahur
pertama bulan Ramadhan, ketika tiba-tiba istri saya mengeluh sakit perutnya.
Sempat muncul tanda tanya apakah istri saya akan melahirkan, tetapi kami sempat
ragu karena HPL-nya masih 11 hari lagi. Agar tak salah penanganan, kami segera
memeriksakan diri ke bidan terdekat di Tambak¬beras, Jombang. Ternyata, bidan
Sri Subijanto melarang pulang. “Sudah bukaan lima,” kata Bu Sri.
Bu Sri mendampingi beberapa saat.
Barangkali dirasa masih agak lama, Bu Sri meninggalkan ruangan bersalin. Meski
hanya sebentar, tapi ternyata inilah saatnya bayi saya lahir. Dengan ditemani
seorang pembantu bidan dan Bu Lik (tante), saya mendampingi istri melewati
saat-saat yang mendebarkan. Di saat-saat terakhir, istri saya nyaris kehabisan
tenaga. Tak berdaya. Ingin sekali saya mengusap keringat di keningnya, tetapi
tak ada saputangan di saku saya. Lalu, saya coba menggenggam tangannya untuk
memberi kekuatan psikis. Saya tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Tapi saya
lihat ada semangat yang bangkit lagi. Sedangkan di matanya, kulihat airmata
yang hampir menetes.
Saya ingin sekali rasanya berlari
memanggil bidan, tapi tak tega meninggalkannya. Saya hanya berharap Allah akan
memberi pertolongan. Alhamdulillah, hanya satu jam di ruang bersalin, anak saya
lahir. Seorang laki-laki.
Tidak sedih, tidak gembira. Hanya
perasaan haru yang menyentuh ketika saya membersihkan kain yang penuh dengan
darah dan kotoran istri. Setetes darah istriku telah mengalir untuk lahirnya
anakku ini. Ia merelakan rasa sakitnya untuk melahirkan. Ia telah
mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan anaknya. Maka, apakah aku akan
membiarkan anak-anakku hanya tumbuh besar begitu saja tanpa pendidikan yang
betul-betul baik dan terarah? Rasanya, terlalu berharga pengorbanan istriku
jika aku tak serius membesarkan anak-anak yang dilahirkannya.
Diam-diam kupandangi anakku. Ingin
kusentuh ia dengan tanganku. Tetapi aku harus bersabar dulu. Setelah asisten
bidan selesai mengurusinya, kurengkuh ia dalam pelukanku. Lalu kuperdengarkan
di telinganya azan dan iqamah yang kuucapkan dengan suara terbata-bata. Semoga
ucapan awal ini membekas dalam hati dan jiwanya, sehingga kalimat ini memberi
warna bagi kehidupannya. Konon ungkapan-ungkapan awal pada masa komunikasi
pra-simbolik ini akan banyak menentukan anak di masa-masa beri¬kutnya. Begitu
bunyi teori komunikasi anak yang pernah saya pinjam saat menulis buku Bersikap
terhadap Anak (Titian Ilahi Press, Jakarta, 1996).
Sekali lagi kupandangi anakku. Tubuhnya
yang masih sangat lemah, terbungkus kain yang saya bawa dari rumah. Hatiku
terasa gemetar melihatnya. Saya teringat, ada satu peringatan Allah agar tidak
meninggalkan generasi yang lemah. Allah Ta’ala meng¬gunakan perkataan, “…
hendaklah kamu takut….” Tetapi saya dapati dalam diri saya, masih amat tipis
rasa takut itu. Lalu dengan apa kujaminkan nasib mereka jika rasa ta¬kut ini
masih belum menebal juga? Ya Allah, tidak ada Tuhan kecuali Engkau, dan aku
dapati diriku ini masih termasuk orang-orang yang zalim.
Diam-diam kupandangi anakku sekali lagi.
Kuusap-usap kepalanya. Kukecup keningnya, seraya dalam hati aku mohonkan kepada
Allah keselamatan dan kemuliaan hidupnya. Pengalaman menemani istri di detik-detik
persalinannya telah mengajarkan kepadaku sesuatu yang sangat berharga, “Anak
yang dilahirkan dengan darah dan air¬mata ini, jangan pernah disia-siakan. Ibu
yang melahirkan anak ini, jangan pernah dinis¬takan.” Mereka adalah amanat yang
telah kuambil dengan kalimat Allah, dan semoga Allah memampukanku untuk
mempertanggungjawabkannya di hari kiamat kelak.
Setelah merasakan pengalaman mendampingi
detik-detik persalinan istri, saya merasa sangat heran terhadap para suami yang
masih tega menampar istri atau menyia-nyiakan anaknya. Saya juga merasa sangat
heran terhadap sebagian rumah sakit yang masih saja melarang suami terlibat
langsung dalam proses persalinan istrinya, sebagaimana ketika istri saya
melahirkan anak pertama saya di Kendari. Padahal keterlibatan suami dalam
proses persalinan dari awal sampai akhir, sangat besar manfaatnya. Baik bagi
istri maupun bagi hubungan ayah dengan anak.
Kedekatan psikis (attachment) antara
ayah dengan anak akan lebih mudah terben¬tuk apabila ayah berkesempatan menyaksikan
secara langsung detik-detik persalinan itu. Di sisi lain, saya kira seorang
istri akan merasa sangat berbahagia kalau suaminya bersedia men¬dampinginya di
saat ia sangat membutuhkan dukungan psikis dan kehangatan perhatian.
Saya tidak tahu apakah istri saya lebih
bahagia dengan kehadiran saya mendampinginya. Tetapi saya kira Anda –para
ummahat— akan lebih senang jika suami Anda bersedia mendampingi persalinan
Anda. Bagaimana?
Muhammad Fauzil Adhim, penulis buku-buku
parenting
Rep:
Administrator
Editor: Cholis Akbar
akhukum fillah arif zainurrohman
0 komentar:
Posting Komentar