TUGAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR
NAMA : ARIF ZAINURROHMAN
NIM :
08111001040
MPK ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2012
Masalah-Kesetaraan Gender di Indonesia
Kesetaraan
merupakan sendi utama proses demokrastisasi karena menjamin terbukanya akses
dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat. Tidak tercapainya cita-cita
demokrasi seringkali dipicu oleh perlakuan yang diskriminatif dari mereka yang
dominan baik secara struktural maupun secara kultural. Perlakuan diskriminatif
ini merupakan konsekwensi logis dari suatu pandangan yang bias dan posisi
asimetris dalam relasi sosial. Perlakuan diskriminatif dan ketidaksetaraan
tersebut dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan kesejahteraan. hidup bagi
pihak-pihak yang termarginalisasi dan tersubordinasi.
Sampai
saat ini diskriminasi berbasis pada gender masih terasakan hampir di seluruh
dunia, termasuk di negara di mana demokrasi telah dianggap tercapai. Menurut
catatan Bank Dunia, diskriminasi gender yang menghalangi kesetaraan dalam akses
dan kontrol terhadap sumber daya, ekonomi, kekuasaan dan partisipasi olitik
antara laki-laki dan perempuan (Bank Dunia: 2000: 1). Dalam konteks ini, kaum
perempuan yang paling berpotensi mendapatkan perlakuan yang diskriminatif,
meski tidak menutup kemungkinan lakilaki juga dapat mengalaminya. Gender
merupakan konstruksi sosial terhadap perbedhan jenis kelamin lakilaki dan
perempuan yang menghasilkan atribut, posisi, peran dan kategori sosial
tertentu. Konstruksi sosial tersebut dibutuhkan sebagai bagain dari mekanisme
survival suatu masyarakat. Oleh sebab itu, konstruksi gender bersifat
kontektual dan relative sesuai dengan ruang dan waktu tertentu.
Gender menjadi persoalan sosial ketika
terjadi perubahan dalam masyarakat disebabkan oleh pergeseran
techno-environment pada tingkat makro namun tidak disertai dengan perubahan
pola relasi dan posisi sosial sehingga membawa kerugian bagi mereka yang berada
pada posisi yang subordinatif. Pembakuan peran dalam suatu masyarakat merupakan
kendala yang paling utama dalam proses perubahan sosial. Sejauh menyangkut
persoalan gender di mana secara global kaum perempuan yang lebih berpotensi
merasakan dampak negatifnya, budaya patriarkhi dianggap sebagai akar persoalan.
Budaya patriarkhi diteguhkan oleh pembakuan peran di mana kepentingan dan
nilai-nilai ‘phallo-centris’ dipandang sebagai standar kepantasan dan lebih
banyak memberikan keuntungan pada laki-laki (Steger & Lind 1999: xviii).
Gender,
sebagaimana kategori sosial yang lain seperti ras, etnis, agama dan klas, dapat
mempengaruhi kehidupan seseorang, termasuk partisipasi mereka dalam kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara. Suatu masyarakat dengan nilai patriarkhi
yang kental dapat menghalangi kaum perempuan untuk mendapatkan manfaat dari
pembangunan dan kemajuan peradaban manusia. Kesetaraan dalam konteks ini adalah
kesetaraan akses pada bidang hukum, kesempatan, termasuk kesetaraan upah kerja,
kesetaraan dalam pengembangan sumberdaya manusia dan sumber-sumber produktif
lainnya (Bank Dunia: 2000: 3).
Kemerdekaan Indonesia merupakan jaminan
bagi terjadinya proses demokratisasi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang
Dasar 1945 yang memuat persamaan hak bagi seluruh rakyat Indonesia, baik
lakilaki dan perempuan. Namun demikian, persamaan hak berbasis gender ini
seringkali terhalang oleh berbagai kepentingan di mana subordinasi perempuan
memberikan manfaat secara politik maupun kultural.
Masalah-masalah
ketimpangan gender yang masih lazim terjadi di Indonesia adalah sebagai
berikut:
1. Ketimpangan Jenjang Pendidikan
Pendidikan
merupakan hak bagi setiap manusia, baik laki-laki dan perempuan. Namun dalam
prakteknya, partisipasi perempuan dalam pendidikan makin menurun pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Anak-anak perempuan merupakan pihak yang paling
rentan terhadap kecenderungan putus sekolah apabila keuangan keluarga tidak
mencukupi. Hal tersebut disebabkan oleh suatu pandangan kultural yang
mengutamakan anak laki-laki, baik sebagai penerus keluarga maupun sebagai
mencari nafkah utama. Pandangan tersebut sangat merugikan perempuan dalam
tingkat ekonomi menengah ke bawah di mana mereka juga harus memberikan
kontribusi ekonomi keluarga. Akses pendidikan yang rendah sangat berpengarruh
pada akses terhadap sumber-sumber produksi di mana mereka lebih banyak
terkonsentrasi pada pekerjaan informal yang berupah rendah.
2. Kesenjangan Akses Sumber Daya
Produktif
Perbedaan
gender dapat mengakibatkan ketidaksetaraan akses terhadap sumber daya produktif
(productive resources) informasi dan permodalan, termasuk pemilikan tanah. Di
daerah pedesaan kepemilikan tanah perempuan lebih rendah dari kaum laki-laki.
Banyak perempuan yang tidak memiliki akses permodalan yang sama dengan laki-laki
sehingga berpengaruh terhadap kontribusinya terhadap ketahanan keluarga. Di
tempat kerja, posisi perempuan cenderung lebih rendah secara managerial dan
struktural. Bias gender tentang kepemimpinan mengakibatkan rendahnya peluang
perempuan untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut.
Perbedaan pembagian kerja produksi dan
reproduksi antara laki-laki dan perempuan turut serta mempertajam kesenjangan
struktural. Pada umumnya, pekerjaan reproduksi seperti pekerjaan rumah tangga
dan pengasuhan anak-anak yang secara kultural diserahkan pada perempuan tidak
diberi nilai setara dengan pekerjaan produksi dalam kebijakan kerja. Peran
ganda (produksi dan reproduksi) yang harus dilakukan oleh kaum perempuan
membuat mereka tidak dapat berkompetisi secara objektif dalam mencapai jenjang
promosi dan kepangkatan serta pendidikan lanjutan yang sama. Pada level yang
lebih rendah, terbatasnya akses perempuan di bidang ekonomi juga menurunkan
daya tahan dan daya tawar perempuan dalam rumah tangga (Bank Dunia, 200:7).
3. Ketidaksetaraan Partisipasi Politik
Ketidaksetaraan
perempuan dan laki-laki di bidang pendidikan dan akses terhadap suber daya
produktif juga mempengaruhi partisipasi politik. Pola relasi patriarkhis
priyayi Jawa dan konsep `pencari nafkah utama` (breadwinner) kolonial diadopsi
untuk menciptakan ketergantungan ekonomi dan politik perempuan terhadap
laki-laki (Murniati, 1992: 24, Dzuhayatin, 2001: 257). Manfaat politik dari
pembakuan peran ini merupakan kombinasi antara konsep kontrol patriarkhi dan
modal ekonomis (economic captial) kapitalisme. Secara sederhana dapat
diasumsikan bahwa mereka yang mengendalikan ekonomi adalah yang mengendalikan
kekuasaan. Pada struktur yang lebih makro, negara dengan kemampuan ekonomi
besar dan mengendalikan politik global dan pada tingkat yang lebih mikro,
termasuk dalam pola relasi keluarga mereka yang memiliki akses terhadap `cash
economy’ (gaji) adalah penentu orientasi politik keluarga. Interpretasi
keagamaan konservatif turut serta menguatkan pola ketergantungan ini dengan
menjadikan aspek ‘nafkah’ yang bersifat mendukung fungsi reproduksi perempuan
menjadi fungsi ketergantungan submisif perempuan terhadap superioritas
laki-laki di dalam rumah dan, juga, di luar rumah.
Pola ketergantungan yang secara kultural
mendapatkan legitimasi keagamaan dan secara struktural dibutuhkan oleh
kekuasaan telah melemahkan posisi perempuan dalam pengambilan kebijakan publik,
baik dalam komunitas maupun dalam politik nasional. Menurut Mar’iyah (2001)
perempuan merupakan 57% pemilih (voter) pada pemilu yang lalu. Namun, jumlah
perempuan dalam posisi-posisi strategis dan politis tidak mencapai 10 %. Hal
senada disinyalir oleh Maridjan (2002: 11) bahwa keterwakilan suara perempuan
makin merosot dari masa ke masa. Pada pemilu 1987 keterwakilan perempuan
mencapai 13 %, 1992 menurun menjadi 12,5 %, 1997 9,8 persen dan pada tahun 1999
menurun lagi menjadi kurang dari 9 % yaitu 45 perempuan dari sekitar 500
anggota legistatif. Jumlah tersebut makin memburuk pada tingkat-tingkat yang
lebih rendah seperti di provinsi dan kabupaten. Jabatan pada level eksekutif
juga menunjukkan angka yang masih suram seperti menteri, gubernur, bupati,
camat dan lurah.
Di samping itu, rendahnya partisipasi
politik perempuan juga disebabkan oleh tradisi politik konvensial yang bersifat
‘power over’ yang cenderung memerintah, mengendalikan, mendominasi dan
menguasai merupakan karakter maskulinitas. Perempuan yang dibentuk dengan
karakter yang ‘power for’ yang lebih mengedepankan hati nurani, potensi dan
melindungi menjadi terhalang untuk dapat masuk dalam politik (Mar’iyah, 2000:
288).
4. Kekerasan yang berbasis Gender
Ketimpangan
jenjang pendidikan dan kesenjangan akses sumber daya produktif serta rendahnya
partisipasi politik perempuan telah menyebabkan mereka menjadi rentan terhadap
kekerasan, baik yang bersifat fisik, psikologis dan seksual. Kekerasan tersebut
dapat dilakukan secara individual, kelompok maupun negara. Kekerasan tersebut
dapat terjadi di mana saja. Bahkan, rumah yang diasumsikan sebagai tempat berlindung
justru menjadi tempat yang paling tidak aman bagi perempuan. Kekerasan berbasis
gender dapat bersifat tersamar dan simbolik seperti ekploitasi media dan
pornografi namun juga konkrit dan nyata seperti perkosaan dan pelecehan
seksual. Peristiwa Perkosaan massal (gang rape) tahun 1998 merupakan suatu
kekerasan kelompok dan juga merupakan kekerasan negara terhadap perempuan
karena dianggap lalai sehingga kekerasan tersebut terjadi (guilty by
ommission). Namun demikian, kekerasan dalam rumah tangga justru merupakan
kekerasan yang paling sering terjadi di Indonesia. Rifka Annisa mencatat bahwa
kekerasan terhadap perempuan yang terjadi antara bulan JanuariJuli 2002
tercatat sebanyak 248 kasus. Kekerasan terhadap istri (KTI) menempati urutan
teratas yaitu 146 kasus dan kekerasan pada masa pacaran (KDP) 60 kasus dan
perkosaan 30 kasus (Rifka Media, 2002: 2)
Demokratisasi dan Upaya Pencapaian Kesetaraan Gender
Demokratisasi
yang tengah berlangsung pasca reformasi diharapkan dapat mewujudkan suatu
kehidupan yang lebih setara dengan menghargai perbedaan sebagai keniscayaan.
Demokratisasi tidak akan berjalan dengan baik apabila prasangka dan stereotipe
terhadap kategori sosial seperti ras, etnis, agama dan gender masih menjadi
cara pandang politik. Seperti ditegaskan oleh Sudarsono (2000) bahwa penguatan
masyarakat sipil merupakan prasyarat berlangsungnya demokratisi. Masyarakat
sipil dapat ditegakkan apabila relasi sosial dapat berjalan secara egaliter dan
bertanggung jawab. Relasi semacam ini hanya dapat berlangsung ketika setiap
elemen menempati posisi yang setara dalam memperoleh kesempatan untuk
mendapatkan manfaat yang adil dari lingkungannya termasuk politik, ekonomi,
sosial budaya.
Berbagai cara tengah dilakukan
diupayakan untuk mengurangi, kalau tidak menghilangkan sama sekali,
ketidaksetaraan gender yang menyebabkan ketidakadilan sosial. Upaya tersebut
dialakukan baik secara individu, kelompok bahkan oleh negara dan dalam lingkup
lokal, nasioanal dan internasional. Upaya upaya tersebut diarahkan untuk:
1. Menjamin Kesetaraan Hak-Hak Azasi
Hak-hak
dasar seperti sosial, hukum, politik dan ekonomi sangat menentukan akses
laki-laki dan perempuan terhadap berbagai kesempatan, sumber daya dan skill
serta dapat menguatkan partisipasi produktif keduanya dalam masyarakat (Bank
Dunia, 2000: 17). Pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak dasar ini dapat
menurunkan kemampuan keduanya untuk bertahan dan mancapai kualitas hidup.
Selanjutnya, kesetaraan terhadap hak-hak dasar memungkinkan setiap individu
dapat mendapatkan manfaat dari peluang-peluang yang ditawarkan oleh pembangunan
dan kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan sosial
budaya.
Hak-hak
dasar ini seringkali tidak dapat diperoleh secara setara karena disebabkan oleh
berbagai tradisi yang tidak lagi sejalan dengan keharusan zaman. Interpretasi
agama yang menjadi dasar pembaharuan hukum, misalnya, justru membelenggu
perempuan ketimbang melindunginya. Pembaharuan peraturan yang dijalankan oleh
berbagai daerah dalam rangka desentralisasi telah banyak membatasi ruang gerak
perempuan secara wajar dan leluasa. Peraturan penggunaan jilbab di ruang publik
dan larangan keluar rumah tanpa disertai `mahram’ seperti yang digagas oleh
perancang Syari’ah Islam lebih banyak merugikan perempuan daripada melindunginya.
Banyak perempuan yang justru mengalami kekerasan seperti penarikan rambut,
pemukulan setelah sosialisasi penerapan Syari’ah Islam digulirkan.
Untuk
itu, perlu dilakukan reinterpretasi yang dapat memungkinkan reaktualisasi
ajaran Islam sebagai `rahmatan lil alamin’. Sesungguhnya, studi-studi Islam
yang dikembangkan, baik klasik dan kontemporer menyediakan perangkat
metodologis untuk melakukan pembaharuan. Namun, sebagaimana, disinyalir oleh
Mernissi (1992) menegaskan bahwa konservatisisme sendiri bukan karena
mempertahankan Islam namun mempertahankan otoritas. “Mengajarkan toleransi dan
kebebasan berfikir, humanisme (sekuler) merupakan serangan, bukan terhadap
Tuhan tetapi terhadap jabatan, posisi......” (Mernissi, 1992: 55). Maryam
Rajawi (2000) mengingatkan bahwa awal dari suatu regim teokrasi seperti Iran
dan Afganistan akan dimulai bagaimana mengendalikan perempuan dan menajdikannya
sebagai simbol tegaknya negara Islam dan sekaligus menutupi segala bentuk
tirani yang dilakukan atas nama Islam. Mengendalikan perempuan hanyalah awal
dari upaya represif mengendalikan seluruh elemen sosial dan, ini merupakan
isyarat bagi `matinya demokrasi’.
2. Penyusun Kebijakan Yang Pro Aktif
Mengatasi Kesenjangan Gender
Selain
melakukan rekonstruksi nilai. budaya melalui reinterpretasi terhadap ajaran
agama dominan, langkah lebih konkrit perlu dilakukan pada tataran kebijakan.
Pengarusutamaan gender (gender meanstreaming) kini tengah digalakkan untuk
mempersempit kesenjangan gender pada akses sumber daya produktif. Oleh sebab
itu, perlu dilakukan `afrmative action’ pada tingkat pemerintah pusat dan
daerah untuk mendorong meningkatnya partisipasi perempuan dalam pendidikan dan
ekonomi. Menurut catatan dari Bank Dunia (2000) ada korelasi positif antara
peningkatan jenjang pendidikan dengan peningktan kesehatan keluarga. Sedangkan
penguatan ekonomi perempuan dapat meningkatkan kesadaran perempuan terhadap
kesehatan reproduksinya.
Affirmative
Action diarahkan untuk memberikan dukungan publik terhadap perempuan, yang
karena peran tradisionalnya, menghadapi kendala untuk memperoleh manfaat dari
kemajuan. Penyediaan kebutuhan praktis gender perempuan seperti prasarana
hernat waktu, pelayanan penitipan anak di tempat kerja, keleluasaan kerja pada
saat perempuan harus melakukan peran reproduksi seperti menstruasi, mengandung,
melahirkan dan menyusui dapat secara signifikan menguatkan posisi sosial
ekonomi perempuan yang, juga, merupakan penguatan ketahanan keluarga.
Pergeseran
paradigma pembangunan dalam tubuh Bank Dunia dari ekonomi pertumbuhan dan
efisiensi menuju ekonomi yang berorintasi pada kesejahteraan manusia telah
banyak memberikan perbaika i terhadap kualitas hidup perempuan.
Insentif-insentif terhadap peran-peran kodrati dan tradisional yang sebelumnya
dianggap ineffisien ini menjadi bagian dari bentuk menguatan perempuan.
3. Peningkatan Partisipasi Politik
Upaya-upaya di atas tidak akan secara
maksimal dapat dicapai bilamana partisipasi aktif perempuan belum maksimal.
Partisipasi aktif dalam kancah politik menjadi prasyarat bagi terjaminnya
hak-hak perempuan secara asasi seperti hak mendapatkan tunjangan keluarga yang
memadai bagi perempuan, dan hak cuti reproduksi. Bahkan, di negara seperti
Australia, misalnya, kepedulian terhadap hak reproduksi perempuan telah menjadi
bagian dari masyarakat sehingga para bapak dan suami berdemonstrasi untuk dapat
memperoleh hak cuti menjadi orang tua (paternity leave) selama dua minggu
menjelang dan sesudah istri melahirkan. Sementara itu, mereka menuntut cuti
melahirkan untuk istri selama 14 bulan (Bernas, 2002).
Keterwakilan
perempuan dalam politik juga menjadi agenda publik pasca gerakan reformasi
untuk memenuhi rekomendasi Dewan Sosial dan Ekonomi (ECOSOC) bahwa negara
anggota PBB perlu memenuhi target minimum keterwakilan perempuan dalam posisi
pengambilan keputusan sebesar 30 persen. Bahkan Konferensi Dunia Beijing plus 5
di New York mengusulkan keterwakilan 50 persen pada tahun 2005 (Masruchah,
2002).
Di
Indonesia, proses pengarusutamaan gender yang dilaksanakan melalui Inpres No. 9
tahun 2000 terus ditindak-lanjuti melalui berbagai perda dan Surat Edaran
Gubernur untuk meningkatkan partisipasi politik dan sosial perempan. Di
Yogyakarta, Surat Gubernur No. 411.4/0195 tahun 2002 menjadi acuan bagi
pelaksanaan pembangunan mulai dari penyusunan, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi program pembangunan di DIY (Bernas, 2002). Berkait dengan masalah
partisipasi politik perempuan, Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) 2002 melalui Ketetapan MPR No. IV/MPR/2002 telah mengesahkan angka
keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pengambil keputusan sebesar 30
persen. Masrurah (2002) menambahkan bahwa pasal 46 UU no.39 tahun 1999
menetapkan bahwa sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota
legeslatif, sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus
menjamin keterwakilan perempuan sesuai persyaratan yang ditentukan.
Namun
demikian, upaya-upaya untuk menjamin keterwakilan perempuan seringkali
menimbulkan polemik, baik dari kaum perempuan sendiri maupun laki-laki. Bahkan,
sebagaimana disinyalir Masrurah (2002), presiden Megawati sendiri sebagai figur
politis tertinggi bagi perempuan Indonesia mengatakan dalam Pidato Hari Ibu ke
73 tanggal 22 Desember 2001 bahwa kemajuan perempuan harus dilakukan secara
wajar tanpa rekayasa. Kalau yang dikatakan rekayasa adalah perlakuan khusus
(affirmative action) maka pernyataan tersebut merupakan langkah mundur. Sebab
perlakuan khusus tersebut dimaksudkan untuk memberikan keadilan kepada mereka
yang mengalami ketertinggalan karena adanya sikap-sikap diskriminatif, baik
berbasis ras, etnis, agama dan gender untuk dapat mengejar ketinggalan
tersebut. Hal tersebut pernah dilakukan oleh Mahathir Muhammad yang melakukan
afrmative action bagi masyarakat Melayu dalam bidang ekonomi dan dalam kurun
waktu tertentu. Affirmative action ini tidak dimaksudkan untuk memberikan
keistimewaan abadi bagi perempuan tetapi bersifat sementara sampai kesenjangan
sosial tersebut teratasi.
Meski
sistem kuota telah ditetapkan namun banyak pihak meragukan keberhasilannya,
karena adanya berbagai faktor. Menurut Maridjan (2002), kuota tersebut sulit
dipenuhi apabila Pemilu masih menggunakan sistem proporsional. Oleh sebab itu,
agenda penguatan politik perempuan juga harus diarahkan pada adanya perubahan
perundangan. Tanpa itu, sistem kuota tersebut tidak akan berhasil meningkatkan
partisipasi perempuan. Maridjan dan Priyatmoko (2002) menilai bahwa kuota
perempuan di parlemen bukan merupakan hal yang substansial, sebab perempuan
yang menduduki jabatan strategis, seperti presiden tidak secara otomatis
memiliki perspektif feminist dan sensitif dengan isu-isu perempuan. Menurut
mereka, kuota bukan hal yang penting tetapi bagaimana kepentingan perempuan
terwakili dalam pengambilan keputusan.
Kalangan
feminist memandang kuota menjadi penting karena dapat memberikan suatu
justifikasi politis dan mendorong proses peningkatan kapabilitas (Nussbaum,
1999: 101). Oleh sebab itu, kuota harus diperjuangkan pada tingkat normatif
melalui berbagai mekanisme kenegaraan seperti undang-undang dan sejenisnya.
Pada saat yang sama, pemberdayaan (empowerment) perempuan terhadap isu-isu
strategis dan praktis perempuan harus mengiringi proses pemenuhan kuota
tersebut. Kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok marginal yang berbasis pada
perbedaan ras, etnis, agama, klas seringkali terabaikan manakala mereka tidak
secara fisik terwakili dalam pengambilan keputusan, demikian juga kepentingan
perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comments.php?id=P80_0_13_0_C
http://snivlaj87.blogspot.com/2011/11/kesetaraan-dalam-masyarakat.html
http://www.wikimu.com/news/DisplayNews.aspx?id=12054
http://studynut.blogdetik.com/2012/01/09/status-sosial-dalam-masyarakat/
akhukum fillah arif zainurrohman
akhukum fillah arif zainurrohman
0 komentar:
Posting Komentar