Bismillahir-Rahmaanir-Rahim
... "Ya Allah, akhirnya dengan hijab ini aku dapat merasakan lezatnya
nikmat iman."
Diakui atau tidak, baik
atau buruknya perilaku seseorang itu, juga tergantung dengan siapa ia bergaul.
Ketika sahabatnya adalah orang-orang yang memiliki akhlakul karimah (akhlak
yang mulia), maka, secara tidak langsung ia telah ikut merasakan langkah
sahabat-sahabatnya yang mulia.
Begitu pula sebaliknya,
ketika yang mejadi teman gaul itu adalah sekelompok orang yang jauh dari cahaya
Allah, kita pun akan mengikuti mereka sedikit demi sedikit. Sebab itu, kita
perlu mewas diri dengan siapa kita bersahabat, sehingga tidak menyesal di
kemudian hari.
Mungkin, karena
kecerobohan saya dalam memilih teman itulah, yang telah menjerumuskanku ke
jalan yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam.
Dua puluh tahun lalu,
tahun 90-an, mengamen di kampus-kampus, terminal-terminal, telah menjadi
pilihan gaya hidupku. Padahal, di lain pihak, orangtuaku termasuk orang yang
berada (berkecukupan), untuk membiayai kuliah, kos dan sanguku.
Bahkan, beliau termasuk
pengurus salah satu organisasi Masyarakat Islam terbesar di Indonesia, yang
mana, jam terbang dakwahnya cukup tinggi. Namun, sekali lagi, karena salah
pergaulan, justru jalan setan inilah yang menjadi pijakanku, sebelum akhirnya
hidayah merasuk ke dalam sanubari.
Pengalaman buruk itu
bermula dari aku menjadi mahasiswi di sebuah universitas di Malang. Aku sendiri
lahir dari Sidoarjo. Karena jauhnya lokasi rumah dan kampus, maka saya lebih
memilih untuk mengekos di lokasi yang tidak jauh dari kampus.
Terus terang, sejatinya
aku menjalani proses perkuliahan itu dengan setengah hati. Tidak ada keseriusan
di dalamnya. Oleh karenanya, untuk mencari hiburan, aku mendaftarkan diri untuk
masuk group theater. Di sini, meskipun tidak sering, kami kadang-kadang
diundang untuk mengisi beberapa acara.
Seiring dengan terus
berjalannya waktu, tumbuh keinginan untuk mengikuti profesi beberapa temanku,
yaitu mengamen. Bedanya, kalau mereka mengamen untuk memenuhi biaya hidup,
sedangkan aku, menjalaninya hanya untuk mencari kepuasan dan kesenangan diri
semata.
Gayung bersambut,
ternyata teman-temanku itu sangat responsif terhadap keinginanku tersebut.
Sejak itulah, karir sebagai penyanyi jalanan di mulai.
Kampus-kampus terbesar
di Malang seperti; IAIN (yang kini berubah menjadi UIN), IKIP, UNIBRAW, adalah
diantara target kami. Namun, tidak jarang juga kami melebarkan sayap jangkauan
kami, ke daerah Batu, karena memang di sini tempat para wisatawan luar negeri,
yang mana jika mereka memberi, relatif lebih besar dari pada orang-orang
pribumi.
Dari hari ke hari, aku
benar-benar dimabuk cinta oleh aktivitas baruku ini. bisa dibilang saat itu aku
sudah 'gila', 'gila' ngamen.
Bayangkan, meskipun
statusku sebagai mahasiswi, namun, intensitas dalam mengamen, dan jauhnya
jangkauan yang harus ditempuh, bisa dibilang, mengalah-ngalahi, mereka yang
memang berprofesi sebagai pengamen sejati, sekalipun mereka itu cowok. Aku dan
beberapa teman tidak lagi mengamen di kampus-kampus, namun juga sudah menuju
terminal-terminal.
Disergap Satpol PP ...
Pernah pada suatu hari,
ketika sedang asik melantunkan sebuah lagu di terminal Arjosari, Malang, kami
disergap oleh Satpol PP Karena kelihaian kami bersilat lidah, akhirnya, kami
dilepaskan, "Pak, kita ini para mahasiswi yang sedang praktek lapangn,
yang meneliti tentang kehidupan para pengamen," jelas kami waktu itu yang
langsung dipercayai.
Tapi pengalaman itu
rupanya tak pernah menyurutkan ku menghentikan kebiasaan gila ini.
Tak puas hanya berkutat
di daerah Malang saja, akhirnya kami beranikan diri untuk memperluas daerah
jangkauan. Tidak tanggung-tanggung, daerah yang kami tuju adalah Lumajang,
bahkan, karena saking kuatnya tekat untuk mengamen, kami berani mengamen hingga
ke Madura, Banyuwangi, bahkan Bali sekali pun. (Astaghfirullaha 'Adziim, semoga
Allah mengampuni masa laluku).
Aktivitas yang demikian
ini, terus aku jalani hingga aku duduk di semester enam. Meskipun demikian
liarnya pergaulanku saat itu, orang tuaku tidak pernah mengetahuinya. Dan
Alhamdulillah-nya, meskipun tidak terlalu baik, setiap kali ujian semester, aku
selalu lulus. -mungkin- hal inilah, yang membuat orang tuaku tidak curiga
dengan aktivitas saya.
Tapi memang di balik
itu semua, terlihat keinginan mereka agar aku bisa memperbaiki kostum
pakaianku. Memang pada saat itu, baju yang ketat dengan bawahan seperti jeans,
menjadi pakaian favoritku. Ditambah lagi dengan rambut yang terurai bebas.
Datangnya Hidayah ....
Senikmat apapun hidup
di tengah kegelapan cahaya Allah, tetaplah itu semua kenikmatan semu, yang
tidak akan pernah mencapai kenikmatan hakiki yang mengarah kepada ketenangan
jiwa, dan kesejukan hati.
Semakin hawa nafsu itu
dituruti, sejatinya jiwa ini semakin haus, rindu akan siraman ketenangan.
Namun, karena hawa nafsu begitu dominan, yang terjadi hanyalah pengingkaran,
pengingkaran jeritan hati. Sehingga, meskipun ia terluka, mulut masih bisah
tetap tertawa dengan sumringahnya.
Begitu pula dengan
diriku. Sejatinya hatiku menjerit, mengakui kekeliruan jalur yang aku pilih.
Hingga terjadilah suatu pristiwa, yang cukup menggugah diriku, yang kemudian
menjadi titik awal kembalinya saya ke fithrah
Ilahiyah.
Hari itu (akhir dari
tahun 1993), tersebutlah salah satu teman kosku yang baru saja menyelesaikan
Praktek Kerja Lapangan (PKL). Pada dasarnya, ia juga termasuk tipe orang yang
kurang memperhatikan hijab, termasuk aurat (jilbab).
Tapi, karena tempat
PKL-nya di sekolah Muhammadiyah, maka ia pun "terpaksa" menggunakan
hijab tersebut. Di tengah-tengah ia merapihkan pakaiannya, saya tertegun
melihat jilbab yang sedang ia lipat.
Seketika itu saya
memberanikan diri untuk memintanya, "Mbak, jilbabnya saya ambil aja
yah," ujarku kala itu. "Untuk apa?" timbalnya "Ya, mungkin
suatu hari nanti aku akan memakainya. Sekalian buat kenang-kenangan. Mbak kan
sudah mau selesai kuliahnya," ujarku. Akhirnya jilbab itu ia berikan juga.
Setelah ia menyerahkan
jilbab itu, saya langsung menjoba mengenakannya. "Wah mbak cantik juga
kalau pakek jilbab," ujar beberapa teman mengomentari ulahku. Ada rasa
nyesss, tatkala aku bercermin dan melihat penampilanku berjilbab saat itu.
Sepertinya setes embun telah membasahi hatiku. Rasanya sejuk sekali. Maka
mulailah aku berfikir untuk menggunakan jilbab.
Meski demikian, masih
terngiang dengan jelas di benakku, bagimana reaksi kedua orangtuaku nanti?
Diam-diam aku pulang dengan penampilan baru, berjilbab. Tapi tetap saja, itu
hanya bagian atas. Sebab, pakaian bawah, masih standar jahiliyah, menggunakan
jeans.
"Nah, beginilah
nak seharusnya seorang muslimah berbusana," puji orangtuaku dalam raut
wajah cukup kaget dan linangan air mata. Mungkin karena suka nya, mereka
mengajakku memborong pakaiaan muslimah. Alhamdulillah, sejak saat itu, tekad ku
menggunakan jilbab semakin kuat.
Terror dari Segala
Penjuru ....
Namun, perjalanan ini
rupanya tak semulus yang aku kira. Yang ada justru jalan terjal, lagi
berbatuan. Akan tetapi, justru jalan yang demikian inilah, yang kemudian hari
akan menghantarkan seseorang merasakan manisnya perjuangan, indahnya keimanan.
Setibanya di kampus aku
diselimuti keraguan untuk menggunakan jilbab. Penyebabnya, tentusaja
mempertimbangkan reaksi teman-temanku, yang sepertinya mereka fobia terhadap
jilbab. Maka, untuk menghindari itu semua, aku pun 'kucing-kucingan' bersama
mereka.
Kalau kuliah malam
hari, saya mengenakan jilbab, kalau siang, akupun melucutinya alias
bongkar-pasang. Pekerjaan ini berjalan hingga lima bulan. Tapi, lama-kelamaan,
aku sendiri tidak kuat dengan permainan ini. Sebab itu, aku beranikan diri
untuk berkata jujur kepada mereka, bahwa aku ada aku yang sudah dengan
penampilan baru.
Apa yang saya kuatirkan
sebelumnya benar-benar terjadi. Teman-temanku mencemooh dan mengkerdilkanku,
"Apa kamu ingin menjadi pocong dengan pakai jilbab!". "Kalau
kamu pakai jilbab, kamu tidak akan bebas.Kamu akan selalu terkekang," ujar
yang lain. Semua itu, sangat mengiris-iris hatiku.
Tidak cukup dengan
omongan saja mereka berperilaku buruk (yang sebelumnya sangat-sangat akrab),
mereka juga dengan serempak menjauhiku. Seorang memboikot penampilanku, mereka
hilang satu-persatu.
Jadilah aku
"sebatang kara". Melihat kondisi kampus yang tidak kondusif ini, saya
bermusyawarah dengan orangtua mengenai permasalahanku. Akhirnya diputuskan, pulang-pergi
sebagai alternatifnya, sekalipun itu sangat jauh Malang-Sidoarjo.
Ternyata harapan untuk
menggunakan hijab dengan mudah di rumah sendiri, tidak semudah membalik telapak
tangan. Di sini pun aku dikucilkan oleh beberapa saudara.
"Perilaku masih
kayak gitu kok pakai jilbab."
"Nanti saja makai
jilbabnya. Kamu itu masih belum menikah. Entar gak laku melihat penampilanmu
yang aneh ini," ujar sebagian dari mereka.
Akan tetapi, sebesar
apapun angin dan badai hinaan menghantam, aku telah bulatkan niat untuk tetap
menggunakan jilbab. Agar pengetahuan agamaku semakin bertambah, maka, akupun
melahap buku-buku agama, yang aku beli di toko-toko buku.
Karena membaca
pengalaman betapa sukarnya berjalan di jalur yang diridhai Allah, setiap kali
melaksanakan shalat, aku senantiasa berdo'a kepada-Nya.
"Ya Allah, sudilah
kiranya Engka memberikanku pendamping hidup yang mendukung apa yang aku yakini
sebagai kebenaran ini," begitu doaku.
Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengabulkan do'a-do'a hambanya. Melalui perantara kedua orangtuaku,
aku akhirnya dijodohkan dengan seorang aktivis dakwah yang sebelumnya tak
pernah aku kenal.
Aku sangat bersyukur
berdampingan dengannya. Selain ia sebagai figur suami yang baik, ia juga
merupakan sosok pembimbing yang senantiasa mengarahkan ke pada jalan yang
benar, yang diridhai oleh Allah. Yang sangat membahagiakanku, ia adalah seorang
yang sangat mengerti agama dan seorang dai.
Saat ini, kami telah
dianugerahi dua putra dan dua putri. Selain sibuk mengurusi rumah tangga dan
mendidik anak-anak, aku juga aktif di organisasi muslimah yang berada di bawah
naungan salah satu harakah Islam.
"Ya Allah, kini
akhirnya aku dapat merasakan lezatnya nikmat iman ini."
"Wahai para
Muslimah, gunakanlah hijab sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh agama
(Islam) yang indah dan mulia ini. Dengan hijab itu identitas kalian akan lebih
jelas. Tanpanya, bukan hanya keimanan kita saja yang kurang nampak, namun,
keislaman kitapun patut dipertanyakan."
[kisah ini diceritakan
langsung oleh Ibu Fina kepada hidayatullah.com/Robin Sah/hidayatullah/dg
sedikit perubahan]
sumber : http://zilzaal.blogspot.com/2012/10/kisah-nyata-semua-meninggalkan-ku.html
akhukum fillah arif zainurrohman
akhukum fillah arif zainurrohman
0 komentar:
Posting Komentar