Menapaki keramik setapak demi setapak


Oleh :
Arif Zainurrohman
     Seperti biasa hari ini matahari masih terbit dari timur, langit masih berwarna biru, awan berwarna putih, dan angin berhembus sepoi sepoi bak mengabarkan bahwa hari ini akan terjadi sesuatu yang baik. Burung – burung berterbangan ke sana ke mari, lompat ke atas dan ke bawah seolah olah sedang menunjukkan sebuah pertunjukkan pada diri ini, memanjakan mata, seolah – olah mengabarkan bahwa mereka sehat dan bahagia.
      Kuangkat wajahku menatap langit, kupejamkan mataku, kubuka lebar – lebar telingaku mendengar suara – suara yang bergemuruh di sekelilingku, kurasakan hembusan angin dengan kulit – kulitku, kulepaskan semua kegundahan hati pada saat itu juga. Perlahan namun pasti gundahku mulai memudar seiring dengan perginya angin yang menerpa kulit – kulitku. Sungguh damai perasaan ini, andailah dapat kualami peristiwa ini setiap detiknya.
     Tiba – tiba saja ada sesuatu yang menganggu kedamaian ini, kulihat beberapa anak kecil berlarian tertawa riang, entah apalah yang sedang mereka tertawakan. Tanpa sadar akupun tersenyum melihat tingkah polah mereka. Lalu kulihat ke arah yang lain kulihat pula seorang anak kecil berjalan dengan khusyunya. Setelah kuperhatikan ternyata ia sedang berjalan menapaki keramik – keramik kecil di pinggir jalan setapak demi setapak.
    Melihat anak itu membangkitkan memori lama, memori masa kanak – kanakku, masa yang indah dimana tidak ada pemrograman, tidak ada bahasa inggris, tidak ada integral, tidak ada turunan, dan hal – hal yang membuatku gundah seperti sekarang ini. Masa dimana tidak ada pertengkaran karena masalah hubungan laki – laki dan perempuan.
     Teringat bahwa dahulu ketika pulang sekolah jalanan itu pula lah yang sering ku lewati, menapaki keramik setapak demi setapak, walau terasa lama namun entah kenapa rasa bahagia itu datang, meringankan beban di kepala. Melupakan sederetan rumus – rumus yang ku tak tahu asal muasalnya.
    Sungguh indah masa kanak – kanak, Tapi tentulah waktu terus bergulir, setiap insan akan menjadi tua, semakin bertambah pula perkara – perkara yang harus dihadapinya.
       Walaupun perkara – perkara itu semakin bertambah bukan berarti insan itu tidak dapat bahagia. Terkadang diri ini selalu menginginkan waktu bergulir kebelakang kembali ke masa kanak – kanak yang bahagia, ke masa dimana diri ini menjadi “raja”, namun tentulah pemikiran itu tidak baik. Menginginkan kebahagiaan bukan berarti dengan menginginkan waktu berhenti pada peristiwa dimana kita sedang bahagia. Bahagia bukanlah sesuatu hal yang cukup sulit untuk di dapatkan.
       Dengan melihat insan lain bahagia terkadang kita dapat ikut berbahagia, dengan melihat orang lain tertawa terkadang kita dapat ikut tertawa.
“Rasa itu bagaikan penyakit menular, jika ingin tertular rasa, maka dekatilah orang yang memiliki rasa yang kita inginkan, insya allah rasa itu akan menular ke kita, sebagaimana penyakit menular ke insan lain”
AZ
     Dengan melihat anak – anak kecil bermain tertawa riang, menumbuhkan rasa bahagia yang hampir terlupa oleh diri ini. Bukankah bahagia itu sederhana, mungkin akan terasa sulit bagi setiap insan untuk memahaminya, karena perbedaan atmosfer dan lingkungan kehidupan yang kita jalani.
Demikian cerita dari kehidupan sang fakir ilmu wa fakir amal ini, ana tutup dengan firman Allah Ta'ala :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa):”Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.[QS:2:286]”

Ibu Kota, 27 Mei 2015

akhukumfillah arifzainurrohman

0 komentar:

Posting Komentar