[Silahkan dibaca baik-baik dan mari kita renungkan bersama]
Jika kita melihat fenomena umat Islam sekarang, kita akan terkejut dan ‘bangga’ karena menduga bahwa ada kemajuan yang luar biasa dalam agama kita. Terkejut, karena setiap orang ngotot ingin bicara masalah agama. Setiap orang ingin berkomentar tentang suatu perbuatan yang ditinjau dengan gaya atau perspektif agama. Lebih hebatnya lagi, banyak sekali orang-orang yang baru kemarin belajar agama bisa berdalil langsung dari Al Qur`an dan sunnah. Karena mazhab mereka Al-Qur`an dan Sunnah, seolah tidak perlu mazhab yang empat !
Melihat kenyataan ini, fikiran kita pun langsung tertuju kepada tokoh-tokoh besar semisal Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi`i, Imam Ahmad bin Hambal, dll. Mungkin hati kecil kita berbisik seraya bertanya-tanya, "..di zaman seperti ini ternyata masih ada mujtahid mutlaq seperti mereka dan jumlahnya lebih banyak ? ..lalu kenapa di masa sahabat, tabi`in, tabi` tabi`in, dan generasi salaf, ko’ tidak sebanyak itu mujtahid yang ada seperti sekarang ini ya ? ..seharusnya di masa mereka jumlahnya lebih banyak, karena mereka paling dekat dengan masa diturunkannya Al-Qur`an ?.." ..lho, ko’ terbalik, ya ?
Dengan banyaknya para mujtahid baru itu, fikiran kita akan kembali tergelitik, "..mestinya umat Islam jaman sekarang tidak akan kebingungan lagi menjalani roda kehidupan ini, semua aspek kehidupan manusia akan berjalan seiring dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah karena banyak yang akan menjelaskannya.., ‘tanya saja’ kepada para mujtahid baru itu.
Namun entah mengapa, ruh agama justru terasa semakin jauh dari kehidupan ?.." Fenomena kemunculan para mujtahid baru tadi malah menimbulkan kegoncangan di dalam tubuh umat Islam. Dimana-mana terjadi fitnah ! Terjadi perang argumen, adu otak, menghina ulama fulan, saling menuding sesat dan kafir, bahkan menghalalkan darah orang-orang yang sama-sama berkiblat ke Ka`bah, atau minimal terjadi perang dingin ! Umat pun jadi terpecah-pecah ! lalu untuk apa para ‘mujtahid’ baru itu bermunculan ?
Kenapa dengan munculnya para mujtahid ini justru realita umat Islam semakin buruk karena semakin banyak kekacauan ? Sesama umat Islam malah terpicu ‘perang’ secara internal. Beberapa kali saya katakan; musuh Islam yang sebenarnya akan senang bila sudah terjadi perpecahan umat Islam seperti ini. Seharusnya kehadiran para mujtahid ini membuat permasalahan agama bisa diselesaikan dengan mudah dan mereka mampu menunjukkan Islam yang rahmat kepada umat. Permasalahan-permasalahan agama yang kerap diributkan dewasa ini sebenarnya adalah masalah yang umumnya sudah diselesaikan oleh ulama beberapa abad lalu. Tinggal kita memahami apa yang mereka ijtihadkan, mengkritisi ijtihad mereka dan menyesuaikan dengan tuntutan zaman, lalu saling bersikap toleransi dalam perbedaan. Bila tidak paham atau tidak setuju dengan mereka, kenapa mesti menghina dan menuduh mereka macam-macam ? Dan ternyata, kesalahan itu tidak melekat pada diri para ulama, akan tetapi aib yang ada pada diri mujtahid baru tadi ! Ulama itu banyak dan para mujtahid dari dulu juga bermunculan, kenapa tidak ‘memperluas dada’ saja untuk mengkaji ijtihad mereka yang memang layak untuk berijtihad ? ..duh, kesombongan.., engkau datang ‘terlalu awal’ menyapa para mujtahid dadakan ini. Walaupun saat ilmu mereka ‘mumpuni’, apakah kesombongan ini harus ‘merajai nafsu’ jalan dakwahnya ?
Ketika kita menukikkan pandangan lagi, kita akan dapati realita yang terasa miris dihati. Para mujtahid baru itu sibuk untuk menyalahkan ulama ini dan itu. Sibuk memahami Al-Qur’an dan Sunnah sekehendak mereka. Padahal pada tataran realita umat Islam, masih banyak hal yang belum tergarap oleh ulama kontemporer ! Pelbagai kemajuan teknologi belum terjawab, solidaritas muslim dalam setiap aspek kehidupan seperti perekonomian, kesehatan dan pendidikan. Mempersiapkan segala pertahanan dari musuh Islam yang sebenarnya sedang mengintai dan berusaha menghancurkan Islam dari dalam. Mempersatukan umat dalam ikatan ukhuwwah yang kuat, dan lain sebagainya, seharusnya menjadi prioritas utama dibanding meributkan kembali fanatisme golongan dan masalah furu’. Melihat realita ini, kita semakin bertanya-tanya, ada apa sebenarnya ini ?
Tapi, sudahlah. Kita tidak usah terlalu memikirkan para mujtahid dadakan itu. Yang dengan mudahnya diberi gelar ‘Al-Ustadz’ dalam tempo ‘dua minggu’ atau hapal Qur’an dan Hadits sebanyak ‘dua puluh biji’. Toh, konsekwensinya akan mereka rasakan sendiri. Jika pola pikir mereka tetap stagnan, kaku, tekstual, menggunakan konsep satu arah atau ‘kacamata kuda’, menolak ilmu dan informasi yang sudah jelas kebenarannya dari dulu, taqlid buta terhadap buku dan syeikhnya, serta selalu melakukan pembenaran sepihak, maka mereka bisa menjadi kaum jumud dan enjoy dalam alam dzulumatnya sendiri..
Wallahua'lam
syukron https://www.facebook.com/wijayaelda
akhukum fillah arif zainurrohman
0 komentar:
Posting Komentar